Sepuh , Ampuh , Embuh ....
Menyambung pertemuan bapak dengan anak yang mirip
gempa bumi endoterm. Emosi Merdhah sudah reda setelah dibuang dan dicharge lagi
dengan dua piring nasi dengan lalap pete plus sauce kebanggaan yakni sambel
trasi . Dalam suasana danversi yang semakin membingungkan itu, mengikut pula Sengut saudara sepupu Merdhah.
Meriah tuh !
Merdhah :
Membandingkan kualitas keris
? Dengan cara bagaimana ?
Sengut :
Aku akan memilih yang bentuknya
cocok dengan keinginan, sandangan warangkanya cantik dan kalau dipamerkan
kelihatan gebyarnya. Lalu dikonsultasikan dengan orang tertentu. Kalau bertuah
bagus menurut beliaunya akan aku pusakakan,
jika dikatakan tidak sesuai maka keris tersebut aku kembalikan ke
asalnya.
Merdhah :
Jadi patokan pilihanmu itu berdasar petuah Sang Konsultan?
Tidakkah
berkeinginan untuk memiliki
pengetahuan tentang kualitas keris ?
Sengut :
Jelas mau tapi apa orang
macam kita ini kuat ? berat lho ilmunya ! pakai tapa pendhem seratus hari
segala, sebelum belajar.
Tualen :
Memang berat bagi pemalas
dan pengkhayal, kita tidak perlu tapa pendhem secara harafiah, sing
penting ... kesungguhan untuk belajar dan menjauh dari klenikisme.
Sengut :
Jadi bisa ya, belajar eksoteri keris dengan sadar dan perut
kenyang, Nggak pake kesurupan - kesurupan kaya orang canggih ilmunya itu ?
Merdhah :
Belum lagi belajar, sudah
mencela orang lain! Memang seharusnya kamu bertapa seumur hidupmu .
Tualen :
Sudahlah tidak perlu menggunjing..., dari kitab yang
pernah saya baca menilai tampilan keris
ada beberapa ketentuan yakni utuh, sepuh, suguh atau garap. Utuh berarti bilah
keris tidak ada cacat atau berkurang, dapur sesuai pakemnya. Sepuh berarti
garapan jaman ratusan tahun sebelumnya dan suguh artinya tujuan pembuatan keris
itu untuk siapa , bagaimana penggarapannya , kemudian siapa dan bagaimana
perlakuan terhadap duwung tersebut.
Setelah ketiga syarat tersebut barulah kita melihat pamornya. Apakah
pamornya baik artinya utuh atau sudah
cacat ....
Sengut :
Wah Om , informasinya mirip
berondongan uzzi , satu satu ya ! biar ada kriteria yang jelas dan nyanthol buat
awam ini !
Tualen :
Ya ... , pasang kupingmu ! Pertama
utuh artinya bilah tidak terpotong,
kembang kacang tidak pugut, pesi tidak
prothol dan tidak disrumbung, ganja utuh, wadidang tidak berkurang dan bentuk dhapur bukan hasil owah – owahan , alias
rekayasa pasar sehingga berubah namanya. Meskipun demikian ada juga yang sudah
berkurang awak awaknya tetapi masih terlihat jelas dapur asalnya, bisa
dimaklumi untuk tangguh purwacaritra.
Merdhah :
Tentang sepuhnya adakah
hubungan dengan ampuhnya ?
Tualen :
Nah , lu !
terjebak pada klenikisme kan ?
Memang susah untuk melepas jeratan tuah. Kalau kita mau ngleluri budaya
sebaiknya melihat kata sepuh itu dengan usia sejarah, yang tentunya di kalangan
Kraton akan memiliki catatan sejarah tentang pusaka tertentu, juga dilihat
nilai perjuangan pemilik sebelumnya. Tentang ampuh hanya Allah yang menentukan.
Usia keris diperkirakan dengan cara menangguh, dengan mengamati keausan besi ,
model penerapan pamor, model ganja, model pesi, serta cakrik dengan melihat luk
, bangkekan maupun condong lelehnya.
Merdhah :
Kalau ada usaha membuat
keris baru agar kelihatan lama ?
Tualen :
Membuat bilah keris agar
berkesan lama disebut kamalan , hal ini membuat rusak bilah keris di masa
mendatang. Diperlukan kejujuran budaya sehingga bukan rekayasa demi kepentingan
dapur tetap ngebul. Pemerhati tosan yang berpengalaman akan mudah membandingkan
barang edisi kuno dengan yang baru dengan membuat garis kesamaan tentang bentuk
khas dari ricikan keris, sehingga akan mudah dibedakan blak Singasari,
Majapahit , Jenggala dll. Sedangkan buatan sekarang pun akan memiliki ciri tersendiri.
Sengut :
Kalau begitu tidak ada karya
empu jaman sekarang yang bermutu dong !
Tualen :
Salah besar anggapan ini ! Mahakarya seni selalu dibuat dengan cinta . Artinya
akan digarap dengan kesungguhan dan totalitas penjiwaan Sang Empu . Jadi keris
sekarang pun banyak yang bermutu tinggi,
tinggal pemiliknya yang perlu menorehkan sejarah mulia bagi bangsa dan negara. Tentunya
tosan aji yang dibuat dengan massal untuk kebutuhan komersiil alias suvenir
bagi turis tidak bisa disamakan dengan yang dibuat sebagai pusaka.
Sengut :
Lebih bagus mana kalau aku
pakai keris tayuhan dengan keris ageman ?
Merdhah :
Menurutku keris apapun
dipakai sampeyan nggak ada bagusnya.
Pakai keris untuk apa ?
Karena sampeyan banyak ndekemnya daripada srawung. Mau pakai keris ageman untuk
kondangan ? sampeyan jarang datang malah
nonton tv di rumah . Diminta untuk among tamu lengkap dengan busana
kejawen ketika tetangga punya hajat mantu
saja kebanyakan alibi , alesane selope kekecilan lah .., itu lah … ,
pengin jadi pranatacara ... tidak mahir merakit
basa . Wis jan tidak laku.
Apalagi memakai keris tayuhan,
kambuh penyakit pamernya , action
menayuh biar dilihat orang , tapi sebenarnya persis ekspresi orang kebelet BAB,
setelah kepentut ... kemudian keluar fatwa dlenyengan tidak sesuai pakem
sejarah , malah latah , mengunggulkan diri dan kepentingannya m dan bertingkah
bak Denbei Rakopen.
Sengut :
Malah ngenyek ... ! Aku ini bener bener lho bisa berkomunikasi
dengan keris !
Merdhah :
Mengaku dengan seribu sumpah
pun orang tidak percaya ... sebab orang
sudah apriori dengan omongan
sampeyan , susah dicari ujungnya .
Ada baiknya sampeyan belajar
tentang etika dalam peargaulan masyarakat tosan aji dan syukur kalau mau
belajar tentang estetikanya
Sengut :
Wis lah, ngomong dengan orang tidak berperasaan memang
susah...
Tualen :
Stop pembicaraan sudah
melenceng jauh jadi debat kusir semua. Pulanglah ,
kita bahas lain waktu tentang
menangguh !
Hening sejenak, anak anak dengan muka kecut dan lirik – lirikan dan
entah siapa yang memberi aba aba mereka serempak ngembat kopi nggereng yang
masih tersisa minimalis alias tinggal ampasnya dan disruput dengan kuatnya, dan
..... gebes – gebes tentunya.
oo0oo