Tanya, Jawab, Tanya .....
Mengisah dua manula yang leyeh - leyeh di
dangau sembari menikmati kiriman nasi timbel dan pepes peda berbonus sambel
pete. Di dekatnya tampak kerbau yang habis didera menarik garu, ikutan menghayati hembusan
angin rehat untuknya. Dengan kedua tangan yang ngiwut maka mulutpun ikut
mengembangkan kerja sambilan bagi kedua aktifis itu ngobrol plus comak – camuk,
so pasti ....
Delam :
Anak – anak pada ribut ikut
arus nguri – uri budaya tosan aji, lha apa nggak mengkontaminasi repotnya kebutuhan rumah tangga ? Jangan - jangan
sekedar obor blarak karena kebetulan mereka sedang bergaul dengan penggemar barang
antik trus kesetrum untuk untuk berkiprah bergaya budayawan tersohor.
Tualen :
Baguslah , meski sebentar
setidaknya ada nafas peduli terhadap pelestarian budaya, kita beri kesempatan saja dan didorong agar
tetap menyala.
Delam :
Emannya mereka ini sudah
berumur, padahal waktu kecil kita mati – matian untuk mendekatkan mereka kepada
akar budaya leluhur, dan mereka menolak dengan jawaban, ah ... kuno !
Tualen :
Salah kita juga , sebab
dengan tosan aji kita tidak bisa menjanjikan jaminan hidup yang mapan seperti
para pejabat. Sehingga kita mendidik mereka jauh dari budayanya, apalagi kita
sudah ilang Jawane.
Delam :
Mendinglah kalau mereka
menyadari untuk meniti budayanya, bukan sekedar gagah – gagahan dan mencari
sensasi maupun ngakali orang lain.
Tualen :
Ah, nggak mungkin orang
berbudaya ngakali orang apalagi untuk kepentingan pribadi , setahuku budayawan
itu memikirkan masyarakat untuk tetap berada dalam lingkungan pemikiran yang
sesuai perkembangan situasinya. Jadi mereka medar ilmu selamat bukan mencari
slamete dhewe.
Delam :
Tapi Dhi, ada yang
mengumpulkan tosan aji sebanyak – banyaknya dengan cara dan pendekatan
pemikiran budaya dan religius banget lho ! Betapa tidak ketika aku sakit orang tersebut datang menengok dan
mendoakanku agar cepat sembuh, kemudian dia bercerita dan mensosialisasikan
tosan aji , dan mendiagnosa bahwa aku sakit karena pusaka tinggalan leluhur,
kemudian menganjurkan untuk melarung agar terhindar dari bala, lha aku percaya,
karena setelah sembuh beberapa hari kemudian aku diajak untuk melarungnya di
laut lepas ....
Tualen :
Maaf aku potong ya ..., kemudian sampeyan disuruh pulang, sementara
dia akan menunggu sampai larut malam untuk membuang sial ? Padahal dia
sebenarnya menunggu kapan larungan itu terbawa ombak kembali ke pantai,
bukankah ada kambangannya ? Itulah orang pinter yang minteri. Dia pakai ilmu
penjual degan di pantai yang katanya untuk persembahan Ratu Laut Kidul , dengan
modal satu buah kelapa maka dia akan mendapatkan uang berkali – kali dari turis
yang dermawan dadakan. Nah tokoh tersebut mendapat pusaka gratis dari sampeyan
dan bea upacara larungan plus akomodasi pulang balik ke laut.
Delam :
Weee, lha peserta yang lain
juga banyak tuh, dan mereka juga terlihat khusyuk dalam melarung dan ada rasa
mak plong setelah melarung.
Tualen :
Kita bukan Mpu pembabar keris tersebut , jadi
kita hanyalah orang yang kebetulan diminta merawatnya , lha kok malah
melarungnya dimana tanggung jawabmu terhadap para leluhur ? bukankah itu
mubadzir ? Yang biasa dilarung itu keris yang gagal atau buruk angsarnya
menurut Mpu pembuatnya. Kita tidak tahu apa isi doanya, dan kita menyia – siakannya.
Delam :
Lha aku ikut saja sebab ada tokoh terpandang dan kaya yang berjamaah di dalamnya , bahkan dia juga
diminta untuk tinggal sejenak untuk berembug sesuatu yang agaknya rahasia.
Tualen :
Agaknya sang terpandang
tersebut menjadi sasaran pendhuwitan , dan tosan aji milikmu yang dikorbankan .
Bukan hanya itu , ritual penglarungan tersebut juga dihembuskan kepada para
pemuka agama , dengan dalih syirik,
penghembus kegelapan atau yang lain , sehingga para pengikut agama tersebut
sangat antusias untuk menyerahkan tosan ajinya kepada sang imam dan kemudian orang
pintar ini akan mendatangi para pemuka agama untuk membantu melarung dalam
tanda petik plus meninggalkan sedikit uang untuk mendukung pengembangan
jemaahnya.
Delam :
Jadi , tosan aji tersebut
tidak pernah lenyap dilarung , tapi berpindah dari satu tempat ke yang lain
dengan menghabiskan dana yang tinggi ? Pantesan ada orang yang mengkoleksi
sampai ribuan keris dan menjadi sasaran bagi pelaku komersial perkerisan , agaknya mereka paham tentang tosan aji sebagai
investasi.
Tualen :
Si Kaya yang menjadi
kolektor tersebut, pastilah setiap hari didatangi oleh orang yang menawarkan
keris dengan berbagai cara , alibi , ekspresi , maupun aksi yang penting
bawaannya laku . Kalau yang selektif
akan memperhatikan wujud serta
menilai kelangkaan , keutuhan , dan minatnya, dengan mengabaikan cerita dan
dramatisasi dihadapannya. Dan syukurlah
kalau Si Kaya ini bisa menjadi benteng penghalang bagi hanyutnya tosan
aji bermutu ke luar negeri.
Delam :
Apa orang pinter tersebut
juga bisa ngakali para peminat tosan aji ? Bukankah pengetahuan yang cukup
dapat membuat orang berhati – hati ?
Tualen :
Betul, kita yang mau belajar
akan lebih aman , tetapi sebaiknya juga mau menimba pengalaman life maupun kajian
literatur, sebab masih saja ada celah bagi kita yang lengah. Maka kita ingatkan
untuk bergabung dengan kelompok seminat dan saling mengingatkan bukan saling
berebut bila ada keinginan terhadap tosan aji. Resikonya kita yang bergabung
akan menjadi pusat kecurigaan dari kelompok seberangnya. Entah ada anggapan persaingan
atau tidak semua tinggal itikadnya.
Delam :
Informasi yang berlebihan
kadang juga membuat penilaian tentang tosan aji tidak obyektif , bahkan dibuat
sensasi untuk mengangkat harga sebagaimana booming anthurium jaman dulu, maupun
koor penjahatan tosan aji dengan mengatakan barang produk baru, buatan panjak,
bahkan dituduhkan hal yang jelek untuk menjatuhkan harga ,kok tega keroyokan untuk
memburukkan sesuatu, tidakkah berjamaah itu untuk kebaikan ? seharusnya masing
masing seia sekata dalam mengapresiasi budaya sehingga akan lebih harmonis, di
jalan masing – masing.
Tualen :
Kita kalangan tua sudah
seharusnya memberikan teladan kepada mereka untuk peduli, sekarang ini kita
hanya bisa nyacat perilaku generasi muda yang tidak berbudayalah, sok baratlah,
bahkan mendamprat mereka dengan anak yang tak berkepribadian, padahal mereka
juga bisa mengkritik kita orang yang egois , eksklusif , statis , pesimistis
dan anti kemajuan. Ada benarnya apa yang mereka sampaikan sebab selama ini kita
cenderung tertutup dan tidak mau mengajari mereka tentang ilmu perkerisan,
bahkan kita katakan pula dengan dalih mereka belum kuat , trus kapan terjadi
estafet budaya secara turun temurun ? Anak – anak cenderung menggunakan bahasa
manca ketika kita bertanya dalam basa Jawa yang pakem. Nah salah kita yang tua
kan ?
Mbah Delam legeg – legeg dan
agaknya bingung memikirkan perilaku anak kesayangannya Si Sengut yang
kelakuannya memang jauh dari pokok pembicaraan mereka . sementara di sebelahnya
sang kerbau mulai kepanasan dan sesekali ekornya dikibaskan ke bagian kepala,
bet .... bet .... bet.
oo0oo