Thursday, March 22, 2012

Cerita 6, Tanya ...


 Tanya, Jawab, Tanya .....


 Mengisah dua manula yang leyeh - leyeh di dangau sembari menikmati kiriman nasi timbel dan pepes peda berbonus sambel pete. Di dekatnya tampak kerbau yang habis didera  menarik garu, ikutan menghayati hembusan angin rehat untuknya. Dengan kedua tangan yang ngiwut maka mulutpun ikut mengembangkan kerja sambilan bagi kedua aktifis itu ngobrol plus comak – camuk, so pasti ....

Delam :
Anak – anak pada ribut ikut arus nguri – uri budaya tosan aji, lha apa nggak mengkontaminasi  repotnya kebutuhan rumah tangga ? Jangan - jangan sekedar obor blarak karena kebetulan mereka sedang bergaul dengan penggemar barang antik trus kesetrum untuk untuk berkiprah bergaya budayawan tersohor.

Tualen :
Baguslah , meski sebentar setidaknya ada nafas peduli terhadap pelestarian budaya,  kita beri kesempatan saja dan didorong agar tetap menyala.

Delam :
Emannya mereka ini sudah berumur, padahal waktu kecil kita mati – matian untuk mendekatkan mereka kepada akar budaya leluhur, dan mereka menolak dengan jawaban, ah ... kuno !

Tualen :
Salah kita juga , sebab dengan tosan aji kita tidak bisa menjanjikan jaminan hidup yang mapan seperti para pejabat. Sehingga kita mendidik mereka jauh dari budayanya, apalagi kita sudah ilang Jawane.

Delam :
Mendinglah kalau mereka menyadari untuk meniti budayanya, bukan sekedar gagah – gagahan dan mencari sensasi  maupun ngakali orang lain.

Tualen :
Ah, nggak mungkin orang berbudaya ngakali orang apalagi untuk kepentingan pribadi , setahuku budayawan itu memikirkan masyarakat untuk tetap berada dalam lingkungan pemikiran yang sesuai perkembangan situasinya. Jadi mereka medar ilmu selamat bukan mencari slamete dhewe.

Delam :
Tapi Dhi, ada yang mengumpulkan tosan aji sebanyak – banyaknya dengan cara dan pendekatan pemikiran budaya dan religius banget lho ! Betapa tidak ketika aku sakit  orang tersebut datang menengok dan mendoakanku agar cepat sembuh, kemudian dia bercerita dan mensosialisasikan tosan aji , dan mendiagnosa bahwa aku sakit karena pusaka tinggalan leluhur, kemudian menganjurkan untuk melarung agar terhindar dari bala, lha aku percaya, karena setelah sembuh beberapa hari kemudian aku diajak untuk melarungnya di laut  lepas ....

Tualen :
Maaf aku potong ya ...,  kemudian sampeyan disuruh pulang, sementara dia akan menunggu sampai larut malam untuk membuang sial ? Padahal dia sebenarnya menunggu kapan larungan itu terbawa ombak kembali ke pantai, bukankah ada kambangannya ? Itulah orang pinter yang minteri. Dia pakai ilmu penjual degan di pantai yang katanya untuk persembahan Ratu Laut Kidul , dengan modal satu buah kelapa maka dia akan mendapatkan uang berkali – kali dari turis yang dermawan dadakan. Nah tokoh tersebut mendapat pusaka gratis dari sampeyan dan bea upacara larungan plus akomodasi pulang balik ke laut.  

Delam :
Weee, lha peserta yang lain juga banyak tuh, dan mereka juga terlihat khusyuk dalam melarung dan ada rasa mak plong setelah melarung.

Tualen :
 Kita bukan Mpu pembabar keris tersebut , jadi kita hanyalah orang yang kebetulan diminta merawatnya , lha kok malah melarungnya dimana tanggung jawabmu terhadap para leluhur ? bukankah itu mubadzir ? Yang biasa dilarung itu keris yang gagal atau buruk angsarnya menurut Mpu pembuatnya. Kita tidak tahu apa isi doanya, dan kita menyia – siakannya.

 Delam :
Lha aku ikut  saja sebab ada tokoh terpandang dan kaya  yang berjamaah di dalamnya , bahkan dia juga diminta untuk tinggal sejenak untuk berembug sesuatu yang agaknya rahasia.

Tualen :
Agaknya sang terpandang tersebut menjadi sasaran pendhuwitan , dan tosan aji milikmu yang dikorbankan . Bukan hanya itu , ritual penglarungan tersebut juga dihembuskan kepada para pemuka agama  , dengan dalih syirik, penghembus kegelapan atau yang lain , sehingga para pengikut agama tersebut sangat antusias untuk menyerahkan tosan ajinya kepada sang imam dan kemudian orang pintar ini akan mendatangi para pemuka agama untuk membantu melarung dalam tanda petik plus meninggalkan sedikit uang untuk mendukung pengembangan jemaahnya.

 Delam :
Jadi , tosan aji tersebut tidak pernah lenyap dilarung , tapi berpindah dari satu tempat ke yang lain dengan menghabiskan dana yang tinggi ? Pantesan ada orang yang mengkoleksi sampai ribuan keris dan menjadi sasaran bagi pelaku komersial perkerisan ,  agaknya mereka paham tentang tosan aji sebagai investasi.

Tualen :
Si Kaya yang menjadi kolektor tersebut, pastilah setiap hari didatangi oleh orang yang menawarkan keris dengan berbagai cara , alibi , ekspresi , maupun aksi yang penting bawaannya laku . Kalau yang selektif  akan memperhatikan  wujud serta menilai kelangkaan , keutuhan , dan minatnya, dengan mengabaikan cerita dan dramatisasi dihadapannya. Dan syukurlah  kalau Si Kaya ini bisa menjadi benteng penghalang bagi hanyutnya tosan aji bermutu ke luar negeri.

Delam :
Apa orang pinter tersebut juga bisa ngakali para peminat tosan aji ? Bukankah pengetahuan yang cukup dapat membuat orang berhati – hati ?

Tualen :
Betul, kita yang mau belajar akan lebih aman , tetapi sebaiknya juga mau menimba pengalaman life maupun kajian literatur, sebab masih saja ada celah bagi kita yang lengah. Maka kita ingatkan untuk bergabung dengan kelompok seminat dan saling mengingatkan bukan saling berebut bila ada keinginan terhadap tosan aji. Resikonya kita yang bergabung akan menjadi pusat kecurigaan dari kelompok seberangnya. Entah ada anggapan persaingan atau tidak semua tinggal itikadnya.

Delam :
Informasi yang berlebihan kadang juga membuat penilaian tentang tosan aji tidak obyektif , bahkan dibuat sensasi untuk mengangkat harga sebagaimana booming anthurium jaman dulu, maupun koor penjahatan tosan aji dengan mengatakan barang produk baru, buatan panjak, bahkan dituduhkan hal yang jelek untuk menjatuhkan harga ,kok tega keroyokan untuk memburukkan sesuatu, tidakkah berjamaah itu untuk kebaikan ? seharusnya masing masing seia sekata dalam mengapresiasi budaya sehingga akan lebih harmonis, di jalan masing – masing.

Tualen :
Kita kalangan tua sudah seharusnya memberikan teladan kepada mereka untuk peduli, sekarang ini kita hanya bisa nyacat perilaku generasi muda yang tidak berbudayalah, sok baratlah, bahkan mendamprat mereka dengan anak yang tak berkepribadian, padahal mereka juga bisa mengkritik kita orang yang egois , eksklusif , statis , pesimistis dan anti kemajuan. Ada benarnya apa yang mereka sampaikan sebab selama ini kita cenderung tertutup dan tidak mau mengajari mereka tentang ilmu perkerisan, bahkan kita katakan pula dengan dalih mereka belum kuat , trus kapan terjadi estafet budaya secara turun temurun ? Anak – anak cenderung menggunakan bahasa manca ketika kita bertanya dalam basa Jawa yang pakem. Nah salah kita yang tua kan ?

Mbah Delam legeg – legeg dan agaknya bingung memikirkan perilaku anak kesayangannya Si Sengut yang kelakuannya memang jauh dari pokok pembicaraan mereka . sementara di sebelahnya sang kerbau mulai kepanasan dan sesekali ekornya dikibaskan ke bagian kepala, bet .... bet .... bet.

 oo0oo